

Sebuah kolaboratif antara Disko (Diskusi Kotor) Pantura, LPM Vokal UPGRIS, dan Bookclub Semarang menghadirkan diskusi publik bertajuk “Feminisme; Ancaman atau Harapan?” yang berlangsung pada (14/12/2024) di Ruang GB 504 Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Acara ini dirancang sebagai ruang bagi perempuan dan laki-laki untuk secara kritis mengeksplor berbagai aspek feminisme, mulai dari sejarahnya hingga relevansinya dalam konteks sosial saat ini. Melalui diskusi kotor yang terbuka dan inklusif, diharapkan dapat tercipta pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu-isu gender dan peran feminisme dalam mewujudkan kesetaraan.
Diskusi ini bertujuan untuk mengklarifikasi kesalahpahaman umum mengenai debat. Debat bukanlah perdebatan yang berujung pada pertengkaran, melainkan proses tukar pikiran yang sehat untuk mencapai pemahaman bersama seperti yang dikatakan oleh Jinawi Rana Putri yang kerap disapa Jeje. Diskusi ini adalah ruang yang tepat untuk membuka ruang beragam pendapat tanpa adanya penghakiman. Semua orang berhak bersuara dan setiap suara berhak untuk didengarkan.
Kecintaan membaca buku dan literasi tidak menjamin toleransi terhadap perbedaan pendapat. Seringkali, individu yang sudah terbiasa membaca justru cenderung diam ketika dihadapkan pada pandangan yang berbeda karena tidak ingin meributkan. Hal ini melahirkan ruang diskusi yang kurang produktif. Padahal, literasi tidak hanya tentang membaca, tetapi juga tentang mendengarkan dan menghargai perspektif orang lain
“Kenapa kita mengadakan diskusi kotor ini, itu karena kita ingin mendengar pendapat yang tidak ada dikepala kita, literasi kan tidak sekedar membaca aja, melainkan kita dapat bertukar pikiran dengan yang lain saat berpendapat maupun diskusi seperti ini,” tutur Jinawi Rana Putri saat memberi tanggapan mengenai event diskusi tersebut ketika ditemui oleh awak Vokalpers.
Diskusi kali ini cukup berbeda dengan diskusi lain. Jika seminar umumnya didominasi oleh pembicara, diskusi kita melibatkan langsung pihak yang pro dan kontra terhadap feminisme. Secara teknis, diskusi ini dibagi menjadi 5 tim dengan moderator di tengahnya. Ada tim perempuan pro, perempuan kontra, laki-laki pro, laki-laki kontra, dan tim netral yang tidak berhak memberikan suara. Diskusi ini membahas 4 mosi dengan waktu masing-masing 30 menit. Mosi yang diusung yaitu feminisme secara general, kebebasan berekspresi, ruang aman bagi perempuan, dan konsep perempuuan independen dengan laki-laki kurang mapan. Para tim menyampaikan argumennya setelah moderator menyampaikan mosi, lalu saling menyanggah satu sama lain. Dengan demikian, tercipta ruang diskusi yang inklusif, di mana semua suara dapat didengar dan diperdebatkan secara terbuka. Semua memiliki hak yang sama untuk berpendapat, marah, bahkan berkata kotor. Namun, tidak diperkenankan menyerang secara personal.
Antusias peserta diskusi patut diapresiasi. Forum ini telah menjadi wadah bagi mereka yang kurang familiar dengan dunia debat. Partisipasi menyuarakan tidak sepakatnya dari pro maupun kontra menjadi awal yang baik untuk masa yang akan datang
“Diskusi ini sangat diperlukan ya, apalagi dikalangan mereka yang kurang paham mengenai debat, hal ini menjadi sesuatu yang saya senangi karena tadi teman-teman banyak yang berani menyuarakan ketidak sepakatnya, berani menyampaikan dalam suatu posisi yang dimana menjadi awal yang baik untuk kita kedepannya,” ungkap Rahar seorang penanggung jawab dari event diskusi tersebut ketika ditemui oleh awak Vokalpers.
Penulis: Mutiara Dewi Aisyah
Editor: Ika Nugrahaning Saputri