
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah hari ini merilis kajian cepat dan Konferensi Pers melalui daring pada Kamis, 30 Oktober 2025 yang menyoroti kegagalan pemerintah dalam penanganan kebencanaan di provinsi tersebut. Dalam dokumen yang merupakan hasil penelitian selama satu tahun, WALHI menyebut bencana banjir yang berulang di Jawa Tengah, termasuk yang terjadi sejak 21 Oktober 2025, adalah “Bencana yang diproduksi dan lahir dari kebijakan yang keliru”.
Organisasi tersebut mengkritik keras respons pemerintah yang dinilai hanya fokus pada pendekatan teknis.
“Penanganan bencana, khususnya banjir, hanya sebatas pendekatan teknikal, seperti penambahan pompa air, perbaikan tanggul, dan pengerukan air sungai. Persoalan tahunan ini direspons dengan menyalahkan curah hujan tinggi, tanggul jebol, dan pompa tidak berfungsi,” demikian temuan WALHI.
WALHI Jawa Tengah menemukan kontradiksi yang jelas antara dokumen perencanaan dan kondisi aktual di lapangan. Di satu sisi, dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi Jawa Tengah Tahun 2022-2026 merekomendasikan mitigasi melalui penataan ruang, kontrol penggunaan lahan, dan revitalisasi fungsi resapan tanah.
Namun, di sisi lain, Peraturan Daerah (Perda) RTRW Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2024 yang baru disahkan, justru masih menetapkan kawasan-kawasan rawan banjir sebagai zona pertambangan dan industri.
“Menjadi sangat aneh ketika wilayah langganan banjir seperti Pati, Grobogan, Semarang, dan Demak masih dimasukkan dalam pengelolaan wilayah pertambangan Kendeng Selatan, Kendeng Muria, dan Semarang-Demak,” tulis WALHI dalam rilisnya.
Kota Semarang dan Kabupaten Demak juga masih masuk dalam program pengembangan kawasan industri.
Akar Masalah: Kerusakan Hulu dan Hilir
Menurut WALHI, banjir parah yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari hilangnya daerah resapan air di hulu dan rusaknya kawasan hilir. Di Hulu, WALHI mencontohkan hilangnya daerah resapan di Semarang atas akibat pembukaan lahan untuk perumahan dan pertambangan. Selain itu, proyek Bendungan Jragung di Grobogan dan Semarang disebut membabat hutan seluas 451 hektar , serta adanya aktivitas tambang karst di pegunungan Kendeng. Di Hilir, degradasi lingkungan di hilir diperparah oleh industrialisasi berlebih dan proyek raksasa seperti Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Proyek ini dinilai menyebabkan siklus hidrologi terputus karena rusaknya anak sungai.
WALHI bahkan menyoroti pernyataan kontradiktif antar instansi pemerintah. Kepala Dinas PUSDATARU Jateng memastikan banjir Oktober ini bukan karena TTLSD , sementara Kepala DPU Kota Semarang justru mengungkapkan bahwa konstruksi tol tersebut membuat air laut seperti terbendung dan aliran tidak bisa langsung ke laut.
Kajian ini dirilis di tengah bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah sejak 21 Oktober 2025. Seperti di Grobogan terjadi dua tanggul jebol, Semarang-Demak yang jalur panturanya lumpuh, juga Pati yang juga mengalami tanggul jebol.
“Dua tanggul jebol merendam 21 desa di Grobogan. Sebanyak 2.095 rumah dan 145 hektar sawah terendam. Di Semarang-Demak, banjir melumpuhkan jalur Pantura Genuk-Kaligawe hingga Sayung. Kemacetan ditaksir mencapai 25 KM, dengan waktu tempuh Demak-Semarang mencapai 24 jam. Di Semarang, 12.957 KK atau 38.180 jiwa terdampak. Akibat jebolnya tanggul Sungai Widodaren, Pati, 700 rumah warga terendam,” tulis WALHI dalam rilisnya.
WALHI juga merekomendasikan beberapa solusi dan desakan kepada pemerintah, yakni dengan meninjau ulang kebijakan tata ruang (RTRW) yang bercorak ekonomi ekstraktif di kawasan hulu. Kemudian pemerintah perlu menghentikan kebijakan teknikal sebagai mitigasi kebencanaan. Dan Fokus memulihkan fungsi kawasan hulu dan daerah aliran sungai sebagai daerah resapan dan lindung.
Penulis: Sabrina Gita
Editor: Ika Nugraha