
Tindakan melanggar hukum (kejahatan) tidak selalu yang nampak secara fisik. Terdapat juga kejahatan tak nampak secara fisik melalui daring. Ini lebih berbahaya, karena dampaknya lebih besar dan pembuktiannya sulit. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mencegah hal ini dengan menerbitkan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) adalah UU No. 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang penggunaan teknologi informasi, transaksi elektronik, dan informasi elektronik di Indonesia.
Namun, dalam realitanya pemerintah maupun penegak hukum seringkali menganggap kejahatan cyber crime atau kejahatan daring adalah kejahatan biasa. Jika ada yang melapor, kasusnya tak menjadi perioritas mereka untuk dinaikkan. Entah itu kebijakan atau ketidakpahaman mereka, yang kemudian berdalih bahwa kejahatan daring belum prioritas.
Kronologi Kasus
Cerita ini datang dari dua orang yang ingin mengungkap kekesalan mereka karena menjadi korban cyber crime, sudah mengadu namun diabaikan. Sama-sama dari UPGRIS, dan sama-sama berakhir kehilangan uang.
Inisial A, seorang mahasiswi yang mendapat ancaman dan kecaman karena datanya akan disebar luaskan kepada seluruh temannya di sosial media Instagram. Ia mengaku takut, terpojok, dan marah karena tiba-tiba mendapat pesan dari anonym, bahwa ia harus membayar sebesar Rp150.000, untuk menghentikan nama dan fotonya disebar sebagai seorang penghutang. Penjahat ini memberikan dua nomor rekening dan 1 nomor e-wallet. Dari tiga jalur pengiriman uang itu ternyata terdapat nama pemilik yang berbeda. Sehingga, kesimpulan A adalah ini adalah bentuk Organized Cryme atau kejahatan terorganisir.
“Saya diancam untuk transfer 150k, kemudian setelah tidak saya gubris, turun menjadi 100k, kemudian dia mengirim qris, dan no rek. Setelah saya membayar, kemudian diancam lagi 700k tapi tidak saya bayar. Setelah saya cek nama rekening BCA atas nama I*n S**n. Sedangkan nomor dana atas nama Si H***h, itu membuat saya menyimpulkan bahwa pelaku tidak hanya personal atau individual tapi kelompok,” ungkap A saat ditemui pada (26/09/2025).
Kemudian korban lain datang dari Inisial B, yang lebih parah ia mendapat doxing dengan modus bahwa ia memesan video syur namun belum melunasi pembayaran (tuduhan pelaku). Dengan bermodal screenshot pesan palsu dan identitas korban B disertai foto lengkap dengan prestasinya akan disebar ke seluruh teman di media sosialnya.
“Kemarin saya habis dapat prestasi, terus tiba-tiba kalau dapat seperti ini, kan ibaratnya kayak kedoktrin. Ibaratnya kemarin dapat nama baik, terus dapat info kayak gini, kan langsung shock,” pernyataan B saat ditemui awak Vokal pada (06/10/2025).
Ketakutan dan keresahan datang dari cerita mereka setelah menjadi korban. Mereka cukup cemas dan ini harus menjadi pendorong barangkali ada korban lain yang belum berani speak up. Karena sejatinya, kesehatan yang tak nampak seperti ini seringkali membuat mental seseorang down bahkan trauma berkelanjutan.
Mengadu ke Siapa Lagi?
Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman pada realitasnya tidak selalu demikian. Entah pelaku datang dari kalangan mahasiswa itu sendiri atau tidak, sudah seharusnya ada mekanisme advokasi yang jelas dan taktis untuk menuntaskan suatu persoalan. Tidak usah jauh-jauh, ternyata di lingkungan sekitar dan terdekat kita pun juga sama dengan negara. Jauh dari kata paham, hal tersebut masih dianggap tabu dikalangan mahasiswa. Entah karena belum pernah terdampak, sehingga mereka acuh atau memang belum mengenal.
Sampai berita ini ditulis, pihak BEM U belum memberikan respon tindak lanjut apapun setelah pelaporan pertama. Sehingga berdasarkan respon tersebut membuat korban tidak ingin melapor lagi dengan BEM Universitas maupun Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Dan sampai berita ini ditulis juga, kedua korban masih membekas rasa kesal dan kegelisahan saat diancam dan dipaksa membayar.
Penulis: Sabrina Gita
Reporter: Syafana Berliana dan Syasi Afrika
Editor: Ika Nugraha