
Kalau mau tahu resto mana yang enak, cepat, dan layak buat kamu repot-repot datang, jangan percaya sepenuhnya dengan Google Review dan food vlogger, tapi coba tanykan kepada driver ojol (ojek Online). Kenapa? Karena bintang lima di Google bisa dibeli. Food vlogger bisa ngatur angle biar plating kelihatan mewah. Foto-foto di Instagram gampang diedit. Semua bisa dipoles. Tapi kesan seorang driver ojol Shopee Food? Itu jujur bro.
Saya salah satunya. Pagi kuliah, sore kadang rapat organisasi, dan disela-sela waktu luang, saya narik orderan Shopee food. Bukan karena saya kurang sibuk, tapi karena biaya hidup di kota tak bisa dibayar dengan sertifikat lomba atau piagam kemenangan. Dari pekerjaan inilah saya punya peta kuliner Semarang versi belakang layar. Peta yang hanya dimiliki oleh orang yang sering masuk dapur resto, antre kasir, atau duduk menunggu pesanan sambil mengamati suasana.
Nah, dari sini saya belajar bahwa menilai sebuah resto itu bukan hanya soal rasa makanan. Ada faktor-faktor lain yang kadang tak kelihatan sama pembeli biasa, tapi jelas banget dimata driver ojol. Dan percaya sama saya, kadang yang terlihat di aplikasi itu jauh dari kenyataan di lapangan. Salah satu contohnya saya alami ketika ambil pesanan di sebuah resto rumahan di dalam gang sempit.
Resto Rumahan yang Jujur Apa Adanya, Kadang kebablasan
Pernah suatu kali saya ambil pesanan dari sebuah resto rumahan di dalam gang. Tempatnya tak terlalu besar, bahkan lebih mirip rumah biasa yang disulap jadi dapur jualan online. Bisa jadi mereka tak pernah dapat kunjungan pembeli langsung, kecuali tetangga sekitar yang pesan secara langsung.
Yang membuat saya kaget, dapurnya di depan rumah. Jadi driver ojol yang nunggu pesanan bisa melihat langsung proses masaknya. Awalnya saya pikir ini bagus, transparan. Tapi yang saya lihat justru membuat selera makan hilang. Sampah menumpuk di pojokkan, meja dapur penuh ceceran bahan makanan, dan penjual memegang bahan masakan dengan tangan penuh keringat bertetesan. Rasanya ingin mundur pelan-pelan tapi pesanan sudah di tangan.
Ini pengalaman yang membuat saya sadar, kadang resto dengan penilaian tinggi di aplikasi bukan berarti dapurnya bersih. Kalau pembeli melihat langsung, mungkin bintang lima itu bisa jatuh jadi satu.
Resto Rapi dan Ramah Driver
Untungnya tak semua resto seperti itu. Ada juga resto yang membuat hati driver ojol senang. Rapi, bersih dan bahkan peduli dengan kenyamanan kami.
Saya pernah abil pesanan di resto kecil, tapi setiap datang, minuman selalu disiapkan untuk driver ojol. Dapurnya rapi, peralatan masak tertata, dan meskipun cuma jualan online, penampilan dijaga. Kursi untuk menunggu juga nyaman.
Yang seperti ini biasanya punya sistem kerja yang jelas. Pesanan diproses sesuai antrean, makanan sydah siap sebelum driver ojol datang, dan tak perlu drama menunggu makanan soalnya rame ataupun kehabisan bahan. Bagi driver ojol, ini serupa surga kecil.
Fenomena Satu Ruko, Banyak Resto
Kalau resto kecil bisa memberi pengalaman menyenangkan, lain halnya dengan resto yang beroperasi layaknya pabrik makanan, satu ruko, tapi di aplikasi tertara lebih dari 15 nama resto. Beneran. Dari luar hanya satu pintu ruko yang terbuka. Tapi di aplikasi, daftar menunya seakan tak ada habisnya, dari ayam geprek, bebek hitam, burger, sampai sushi KW. Tapi tentu semua itu dimasak di dapur yang sama.
Masalahnya, dapur mereka tertutup, jadi kita tak tahu proses masaknya seperti apa, tapi saya pernah lihat stok bahan mereka ketika pintunya terbuka, penuh bumbu kemasan, daging kalengan, dan bahan-bahan instan yang sudah diracik dari distributor. Tak ada salah dengan hal tersebut kalau memang sesuai izin, tapi dari segi kualitas, ya, mirip-mirip semua rasanya. Kalau soal begini, bukan lagi soal kuliner khas tapi lebih ke pabrik makanan yang produksi massal.
Masalah kedua, promo mereka gila-gilaan. Dari sisi pembeli, ini menguntungkan tapi dari sisi driver ojol, itu berarti antrean bisa memanjang. Pernah saya menunggu selama dua jam hanya demi satu menu pesanan. Untungnya pembeli bisa menerima dengan lapang dada.
Pelanggan Unik, Pesanan Aneh
Nah, kalau urusan resto sudah cukup membuat pusing, ternyata pelanggan pun punya cerita unik yang kadang lebih aneh lagi.
Pernah suatu hari saya dapat pesanan dari sebuah mal. Lokasi pengantarannya? Mal itu juga. Bukan beda gedung, bukan juga beda lantai, tapi satu lantai yang sama, jaraknya hanya beda beberapa toko saja. Jadi saya ambil makanan, jalan sebentar, dan sampai pembeli. Rasanya aneh, tapi ya begitulah pekerjaan ini, semua pesanan harus diantar, mau jaraknya satu kilometer atau sepuluh meter.
Kadang juga ada pembeli yang pesannya di tengah hujan deras, di daerah yang aksesnya hanya bisa lewat jalan sempit atau gang tikus. Untuk mereka, mungkin ini soal kenyamanan, untuk kami driver ojol, ini soal perjuangan.
Jalanan Semarang, Siang, Sore, dan Malam
Selain resto dan pelanggan, ada satu panggung besar yang selalu jadi bagian dari pekerjaan driver ojol, jalanan kota Semarang itu sendiri.
Menjadi driver ojol di Semarang berarti harus pintar menyesuaikan diri dengan kondisi jalan. Siang hari? Panasnya bisa membuat helm berasa jadi oven. Sore? Siap-siap macet, apalagi jalur-jalur utama seperti Tugu Muda atau Simpang Lima. Di sini pengetahuan jalan tikus sangat berharga.
Begitu malam tiba, ceritanya berubah. Jalanan mungkin terasa lebih lenggang, tapi ada tantangan lain yang muncul. Para driver ojol menyebutnya “ngalong“ narik tengah malam. Risiko ngalong macam-macam, mulai dari ketemu tawuran, terhalang portal jalan, sampai bertemu anjing liar yang tiba-tiba mengejar. Saya sendiri pernah benar-benar lari dari kejaran anjing sambil bawa makanan. Untung makanannya selamat meski nafas tersengal-sengal.
Lebih dari Sejadar Pengantar, Ojol Bisa Jadi penilai dan Tour Guide Kuliner
Dari semua pengalaman itu, saya mulai mikir, sebenarnya driver ojol itu bisa jadi penilai resto yang lebih akurat daripada Google Review atau food vlogger. Bedanya, kalau food vlogger sibuk membuat konten dengan angle kamera yang membuat makanan terlihat begitu wah, driver ojol justru melihat langsung proses di baliknya, dapur yang berantakan atau bersih, pelayanan yang ramah atau judes.
Kami tahu resto mana yang beneran niat, dan mana yang cuma jualan gimmick. Karena kami hadir di momen-momen yang tak pernah masuk video, ketika dapur sedang sibuk mengepul.
Bahkan, saya rasa driver ojol juga bisa menjadi semacam tour guide kuliner. Bukan yang sekedar memberi rekomendasi rasa, melainkan juga mempertimbangkan faktor kebersihan, pelayanan, dan kecepatan. Kalau mau makan enak di sebuah kota tanpa drama, tanya dulu sama driver ojol, yang setiap hari keluar masuk resto.
Karena bagi kami, bintang lima bukan soal rasa, tapi juga pengalaman dibaliknya. Jadi, lain kali kalau kamu pesan makanan lewat aplikasi, masih mau percaya penuh dengan bintang lima di layar atau konten vlogger yang sudah dipoles? Atau mau coba tanya dulu ke driver ojol yang setiap hari jadi saksi dapur, jalanan, dan wajar asli resto di sebuah kota?
Penulis: Rizqo Aji
Editor: Sabrina Gita Salsabella