
Malam di Jalan Pahlawan, Semarang, selalu punya irama sendiri. Di pinggir jalan kota yang padat itu, deru kendaraan terdengar tiada henti, berpadu dengan bunyi klakson yang saling bersahutan. Asap knalpot menebar di udara, sementara di sepanjang trotoar berjajar para pedagang kopi dengan gerobak sederhana. Lampu-lampu kendaraan berkelip seperti bintang yang tersesat, sementara aroma kopi menyeruak di antara asap knalpot dan obrolan ringan para penikmat malam. Di situlah berdiri sederet gerobak kopi kaki lima, salah satunya Kopi Pawon Nusantara, warung yang katanya “harga merakyat, rasa bintang lima.”
Dari Jakarta ke Jalan Pahlawan
Dari deretan pedagang kopi itu, salah satunya dikenal dengan nama Kopi Pawon Nusantara, yang menjadi cabang pertamanya di Jalan Pahlawan, Kota Semarang. Warung kopi sederhana ini berdiri di pinggir jalan, di tengah hiruk pikuk lalu lintas yang nyaris tak pernah sepi. “Yang pertama kali buka di Pahlawan,” kata Man, sang penjual Kopi Pawon Nusantara. Dengan suara santai tapi yakin, ia cerita bagaimana warungnya muncul sejak 2016, buka pertama kali di Jakarta, Purwokerto, kemudian di Kota Semarang. Sekarang “Kita bikin di kaki lima aja. Jadi harga merakyat, tapi rasa tetap bintang lima.”
Kata “merakyat” bukan cuma slogan di banner. Sejak pertama kali dibuka, Kopi Pawon Nusantara cepat dikenal sebagai tempat singgah semua kalangan. Warung ini buka dari pukul 8 malam sampai jam 3 pagi, melayani siapa pun yang mampir: mahasiswa yang lagi nyari ide skripsi, bapak-bapak yang butuh rehat setelah kerja, sampai pasangan muda yang pura-pura bahas masa depan padahal baru kenal seminggu.
“Di sini semua ada,” kata Man lagi, tertawa. “Mau mahasiswa, bapak-bapak, ibu-ibu—campur semua.”
Nongkrong yang Nggak Bikin Kantong Kering
Berbeda dengan kafe modern yang dipenuhi lampu temaram dan musik lembut, Kopi Pawon menawarkan suasana jalanan yang hangat dan apa adanya. Di sini, aroma kopi berpadu dengan hiruk pikuk kota, bukan dengan pendingin ruangan dan desain interior mewah yang menarik untuk dijadikan konten media sosial. Ferdinan, salah satu pelanggan, bilang kalau ia lebih suka ngopi di jalanan ketimbang di kafe. “Di sini lebih dapet feel-nya nongkrong aja sih, mas. Apalagi saya suka otomotif, jadi seneng liat motor sama mobil lalu lalang.”
Ia datang karena teman, tapi bertahan karena suasananya. “Harga ramah di kantong, suasana santai, dan bisa lihat hiruk pikuk kota,” ujarnya. Kalau di kafe, mungkin ia bakal lebih sibuk nyari colokan dan sinyal Wi-Fi daripada ngobrol.
Dari Macet ke Kehidupan
Beda lagi dengan Tegar, warga Pleburan yang rumahnya nggak jauh dari deretan kedai kopi itu. “Kalau jam tujuh sampai sembilan, yaa bikin macet lah,” ujarnya sambil ketawa kecil. “Tapi lewat jam segitu, malah ngidupin suasana kota. Mending anak muda nongkrong sambil ngopi daripada mabuk-mabukan gak jelas.”
Menurut Tegar, ada sisi positif yang jarang dilihat orang. “Penjualnya jaga kebersihan, dan tukang parkir sekitar jadi kebagian rezeki. Cuma ya itu, butuh penataan kota yang lebih rapi biar nggak tumpang tindih.”
Bertahan di Tengah Hujan dan Razia
Kalau ditanya tantangan, Man cuma nyengir. “Kalau hujan, ya udah bubar. Nomor satu itu musuhnya. Kalau Satpol PP sih bisa diakalin, lari dulu, ngumpet dulu, nanti balik lagi. Biasanya razia sampai jam sepuluh malam, habis itu aman.”
Di balik tawa itu, terselip ketegangan khas pedagang kaki lima. Mereka berjuang di antara kenyataan hidup dan aturan kota yang kadang tumpul ke bawah. Tapi toh setiap malam, mereka kembali buka, menyeduh kopi, dan menyapa pelanggan.
Secangkir Kopi, Sepotong Kehidupan Kota
Fenomena street coffee seperti di Jalan Pahlawan ini sebenarnya bukan cuma tentang kopi. Ini soal ruang sosial yang lahir dari kebutuhan sederhana: tempat untuk berhenti sebentar, berbagi cerita, dan merasa hidup di tengah rutinitas kota.
Semarang mungkin butuh lebih banyak ruang seperti ini—bukan sekadar tempat nongkrong, tapi juga tempat manusia menjadi manusia: berbicara, tertawa, berpikir, dan diam bersama secangkir kopi yang menenangkan.
Penulis: Mutiara Dewi Aisyah
Reporter: Andika Setya Wardana
Editor: Sabrina Gita