Nyawa Bukan Soal Angka: Mengecam Tindakan Sewenang-wenang Polda Jawa Tengah dalam Penangkapan Massa Aksi

Semarang, 3 September 2025 – Tim Hukum Suara Aksi, yang terdiri dari 40 advokat dan aktivis hukum dari berbagai organisasi masyarakat sipil di Semarang, mengecam keras tindakan represif dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah dalam menangani aksi massa. Hingga Selasa, 02 September 2025, masih terdapat pelajar yang ditangkap lantaran operasi sweeping yang dilakukan aparat kepolisian, padahal sebelumnya Polda Jawa Tengah menyatakan sudah tidak ada yang ditahan. Hingga kini terdapat tujuh orang yang ditetapkan tersangka, enam di antaranya anak-anak yang kemudian statusnya dicabut.

Berdasarkan pendampingan hukum yang dilakukan sejak Minggu, 31 Agustus 2025, terhadap ratusan korban salah tangkap, ditemukan bukti-bukti pelanggaran berat. Pertama, penghalangan akses bantuan hukum dan pendampingan perempuan dimana Tim Hukum dan keluarga korban tidak diberi akses untuk mendampingi pelajar dan warga yang ditangkap di Polda Jawa Tengah. Ada pula tiga perempuan salah tangkap yang tidak mendapatkan pendampingan karena larangan masuk, meskipun sudah terang-terangan bukan peserta aksi. Kedua, salah tangkap massal dan penangkapan sewenang-wenang dimana operasi sweeping yang dilakukan oleh aparat berpakaian preman dan berseragam di berbagai titik, termasuk depan Polda, menimbulkan ketakutan besar. Sekitar 400 orang ditangkap, dengan sebagian besar korban adalah anak-anak dan pelajar yang tidak terlibat aksi.

Pelanggaran lain yang dilakukan oleh Polda Jateng yaitu kekerasan dan penyiksaan dalam penangkapan dimana polisi terpantau melakukan kekerasan fisik, termasuk penganiayaan pada anak-anak dan masyarakat saat penangkapan, bahkan membawa senjata api laras panjang secara berlebihan. Instruksi “tembak di tempat” yang dikeluarkan Kapolri juga sangat berbahaya dan berpotensi melanggar HAM. Selanjutnya, penahanan diluar prosedur dimana banyak korban ditahan lebih dari 1×24 jam tanpa akses bantuan hukum, yang mengakibatkan trauma dan gangguan psikologis serius, terutama pada anak-anak. Pasalnya, Polda Jawa Tengah telah berjanji akan membebaskan korban salah tangkap pada 31 Agustus 2025 pukul 09.00. Namun, Polda Jawa Tengah baru membebaskan korban salah tangkap ini pada 31 Agustus 2025 pukul 17.00 WIB. Bahkan sampai pukul 18.00 masih terdapat 100-an orang dan anak yang ditangkap yang saat ini belum melakukan proses pemeriksaan.

Lalu penelantaran dan ketidakmanusiawian dimana korban penangkapan dibiarkan tanpa makanan dan dalam kondisi tidak memadai selama masa penahanan. Lebih lanjut, kewajiban wajib lapor yang tidak berdasar dimana para korban juga diwajibkan melakukan wajib lapor dua kali seminggu dengan cara yang menyulitkan, tanpa dasar hukum yang jelas mengingat status para korban yang bukan tersangka. Mereka menegaskan bahwa ketidakjelasan dan pelanggaran ini menunjukkan adanya ketakutan aparat terhadap suara masyarakat dan potensi penindasan terhadap gerakan protes yang sah secara demokratis. Oleh karena itu, dalam hal ini mendesak agar pihak kepolisian melakukan pemeriksaan yang transparan, stabil, dan lugas atas peristiwa ini. Jika terbukti ada pelanggaran oleh aparat, maka harus ada akuntabilitas dan tindakan tegas serta reformasi kepolisian yang nyata.

Dalam konferensi pers, disampaikan juga keprihatinan mendalam atas dugaan represifitas aparat terhadap Iko Juliant, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang berujung pada kematian. Menurut Direktur LBH Semarang, informasi awal menunjukkan bahwa almarhum diduga menjadi korban kekerasan aparat, terutama dengan fakta bahwa pengantar ke rumah sakit adalah anggota Brimob dan ditemukannya luka-luka bekas kekerasan. Selain itu, Tim Hukum Suara Aksi, membuka ruang kolaborasi dengan keluarga korban dan Fakultas Hukum Unnes dalam melakukan investigasi guna mengungkap fakta sesungguhnya, apakah kematian korban merupakan akibat kekerasan aparat atau kecelakaan murni sebagaimana klaim dari pihak kepolisian.

“Ini bukan hanya soal satu mahasiswa yang meninggal, melainkan bagaimana negara dan aparatnya memperlakukan warga yang menggunakan haknya untuk menyuarakan pendapat,” ujar perwakilan tim hukum.

Dalam hal ini, Tim Hukum SUARA AKSI merangkum beberapa tuntutan. Pertama mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak dan Ibu, dan Komisi Nasional Disabilitas untuk mendorong penghentian tindakan sewenang-wenang oleh kepolisian serta membebaskan massa yang ditangkap. Selanjutnya meminta institusi kepolisian menghentikan tindakan brutal, sweeping, dan penangkapan tanpa dasar hukum. Mendesak pencabutan status tersangka untuk seluruh korban penangkapan tanpa syarat. Lalu juga memohon Polda Jawa Tengah secara resmi meminta maaf kepada korban dan keluarganya serta bertanggung jawab atas pemulihan kondisi korban. Terakhir meminta Presiden Republik Indonesia dan pemerintah terkait untuk segera mengambil tanggung jawab atas kondisi yang terjadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *