Kekerasan Terus Berlanjut, Negara Belum Hadir Melindungi Persma

Tubuh Rama dan Doni (bukan nama sebenarnya) lecet-lecet di beberapa bagian tangan dan kaki. Dua jurnalis kampus dari universitas swasta di Kota Semarang ini ditangkap dan dianiaya aparat saat meliput aksi May Day 2025 untuk memeringati Hari Buruh Sedunia. Keduanya dicokok aparat di halaman kantor gubernuran Provinsi Jawa Tengah saat tengah serius mempersiapkan fitur di platform media sosial.

Kekerasan terhadap jurnalis dan anggota lembaga pers mahasiswa oleh aparat kepolisian terjadi saat mereka meliput aksi May Day 2025, Kamis (01/05) di Semarang. (Sumber: David/Vokalper)

Setelah menjalani proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Mapolrestabes Semarang dan proses pendampingan hukum oleh LBH Semarang yang dihalang-halangi, mereka akhirnya dibebaskan setelah 1×24 jam berada di ruang pemeriksaan.

Penangkapan serupa juga dialami Jaja (bukan nama sebenarnya), tim magang persma SKM Amanat dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang saat meliput aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan, pengemudi ojek dare yang meninggal dilindas mobil Rantis (Kendaraan Taktis) Brimob pada Jumat (29/09/2025).

Saat itu, Jaja berangkat ke lokasi aksi sekitar pukul 14.00 WIB. Aksi yang dimulai pukul 15.00 WIB dimulai kondusif bagi mayoritas pendemo pengemudi ojek online dan pelajar SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Kericuhan mulai muncul ketika salah satu pelajar SMK mulai melempari aparat dengan berbagai barang mulai dari botol, kemasan udara, hingga barang apapun yang ada di sekitar halaman Mapolda Jateng sehingga aparat polisi mundur dan menutup akses para pendemo di sejumlah titik. Jaja dan dua rekannya mundur menjauh ke organisasi warga sekitar untuk menghindari gas air mata. Mereka juga mendokumentasikan situasi saat aparat melakukan penangkapan agresif pada sejumlah peserta aksi.

Saat itu, kamera Jaja ditarik paksa oleh sekelompok orang berbadan besar. Jaja juga mengalami kekerasan sebelum diamankan di rumah warga. Jaja dijemput paksa dari rumah warga dan dibawa aparat ke Mapolrestabes Semarang sekitar pukul 19.00 WIB saat aksi mulai bubar.

Di Mapolrestabes Semarang, kamera Jaja tidak ditemukan sebagai barang bukti dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dirinya.

“Saya sudah menggunakan prosedur lengkap tapi tetap saja mereka mengambil kameraku,” ungkapnya. Jaja bebas keesokan harinya sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, tetapi hingga kini kameranya tidak kembali.

Mahasiswa bersama sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi demo menolak RUU TNI pada Kamis, 20/03/2025 di depan Kompleks Gubernuran Jl Pahlawan Semarang. (Sumber: Andika/Vokalper)

Kekerasan terhadap jurnalis kampus hanya terjadi pada saat aksi demo. Amar (bukan nama sebenarnya), redaktur LPM di Universitas Islam Negeri di Semarang mendapatkan intimidasi secara verbal dari aparat Babinsa saat menggelar diskusi RUU TNI. Diskusi itu berkolaborasi dengan KSMW dan FTPS, forum diskusi di kampusnya, dengan pembahasan potensi rezim Prabowo Subianto jika RUU TNI disahkan.

“Mereka meminta takedown berita tentang pembahasan RUU TNI yang kami terbitkan   pada Jumat, 14 April 2025,” ungkap Amar yang mengaku sempat menolak permintaan itu.

Menurutnya, berita itu sudah sesuai dengan kaidah jurnalistik dengan verifikasi ke sejumlah sumber dan memuat foto yang diblur untuk meminimalisir dampak negatif . Sebelumnya, kantor redaksi sempat datangi Babinsa sebelum akhirnya menghubungi pribadi kepada Amar karena kantor pada saat itu sedang kosong. Pada akhirnya berita itu diturunkan.

Dampak kekerasan itu nyata

Intimidasi dan tindakan represif yang dialami siswa tidak hanya meninggalkan dampak fisik tetapi juga batin. Doni, mengaku sering waswas setelah kejadian penangkapannya. Ia bahkan merasa tidak aman untuk menggunakan perangkat digitalnya.

“Sering tanya-tanya  handphone -ku aman atau nggak dan sempat pengin ganti nomor,” kata Doni. Bahkan kekhawatiran dan ketakutan akan perceraian dengan penegak hukum pun membuat Doni akhirnya mengambil keputusan untuk tidak aktif lagi mengikuti kegiatan dan meyakinkan diri sebelum masa magang berakhir.

Aksi demonstrasi mahasiswa bersama sejumlah elemen masyarakat dalam momentum 100 hari kinerja Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada Rabu, 19/02/2025 di Kota Semarang (Sumber: Rizqho/Vokalpers)

Kekerasan sangat berdampak pada psikososial jurnalis kampus. Para korban kekerasan bahkan cenderung lebih memilih untuk bungkam dan enggan bersuara untuk mengungkap pengalaman kekerasan. Mereka trauma dan khawatir pada keamanan diri.

“Kalau kasusku kemarin aku kurang berkenan untuk wawancara. Tapi jarak yang aku tahu kalau soal intimidasi khususnya untuk instansi pemerintah. Kasus terakhirnya Yuda (bukan nama sebenarnya). Mungkin ada pas Omnibus Law/Ciptaker tahun 2018/2019 itu angkatan lama juga udahan,” tegas Maya (bukan nama sebenarnya) saat dimintai keterangan kesaksian. Yuda sendiri tidak memberikan balasan terkait pertanyaan apakah dirinya pernah mendapat tindakan represif saat meliput. Hal ini kembali berjanji bahwa tidak semua korban mau dan berani untuk angkat bicara.

Menangapi kasus kekerasan yang dialami kalangan pers pelajar, Siti Darmawati, konselor psikologi Rifki Annisa Women Crisis Center Yogyakarta menjelaskan, trauma bisa muncul dari pengalaman kekerasan fisik seperti pemukulan, penangkapan dalam kondisi yang tidak kondusif, hingga intimidasi psikologis. Dampak trauma ini tidak hanya bersifat psikologis, tetapi juga berdampak pada aspek fisik dan sosial, bahkan ekonomi, dengan durasi jangka pendek atau panjang. Reaksi trauma bisa bersifat akut, muncul segera setelah kejadian, atau kronis, bertahan lama.

“Ada yang mungkin setelah itu yaudah gitu, nggak apa-apa karena ada support system dari teman. Tapi ada yang mungkin reaksinya sangat membekas. Apalagi misalnya baru pertama kali meliput aksi dan mengalami peristiwa kekerasan. Itu traumanya akan panjang,” ungkapnya.

Dalam dunia pers di Indonesia, kerja-kerja para jurnalis kampus tak bisa dipandang sebelah mata dalam menyuarakan isu publik. Bahkan dalam Kongres ke-10 organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada November 2017 di Solo telah mengakui kualitas persma dan mengakomodir menjadi anggota. Berbagai jenis kasus kekerasan yang dialami para jurnalis kampus baik kekerasan fisik, psikis dan digital, menunjukkan mereka rentan mengalami kekerasan dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik. Negara belum sepenuhnya hadir dan seolah-olah abai memberikan perlindungan hukum.

Dalam lima tahun terakhir, jurnalis kampus di Semarang, mengalami berbagai bentuk intimidasi dan tindakan represif aparat. Dalam catatan Divisi Advokasi AJI Kota Semarang menyebutkan di bulan Januari – September 2025, kasus kekerasan jurnalis kampus yang terlaporkan dan tercatat cukup dipedulikan. AJI Kota Semarang melakukan pendampingan kepada 10 anggota jurnalis kampus yang mendapat intimidasi hingga represivitas di wilayah Semarang. Bisa jadi angka ini berlipat ganda karena ketidakberanian dan ketidaktahuan mereka untuk melaporkan kasusnya untuk mendapat pendampingan, baik itu kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan digital.

Kekerasan terhadap anggota lembaga pers mahasiswa oleh aparat kepolisian terjadi saat mereka meliput aksi May Day 2025 pada Kamis, 01/05/2025 di Kota Semarang. Dalam foto tersebut, tampak beberapa tuntutan peserta aksi. (Sumber: Rizqho/Vokalper)

Secara umum, temuan AJI Indonesia pada Maret 2025 menunjukkan sebanyak 75,1% jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun digital. Sementara itu, Dewan pers mencatat dalam kurun waktu 2022-2025 pelaku kekerasan terhadap jurnalis, dominan dilakukan oleh aparat. Catatan ini setidaknya membuktikan Indeks Kebebasan Pers Indonesia merosot dari posisi 111 ke 127 dari 180 negara.

Di sisi lain, masih ada jurnalis kampus yang memilih untuk bertahan, bersuara dan melawan kekerasan yang dialami. Meski ada luka batin, perlawanan tetap ada. Jaja, salah satunya yang masih aktif di dunia persma. Ia justru ingin membuktikan dan semakin semangat untuk melakukan kerja-kerja jurnalistik meski pernah ditangkap aparat. Baginya, ketakutan dan kekhawatiran bisa dikalahkan dengan strategi keamanan diri. Jaja belajar mitigasi peliputan setiap kali melakukan proses jurnalistik.

“Semakin mengetahui ada persoalan, semakin ingin melanjutkan apa yang sudah saya mulai. Makin berani karena memiliki pengalaman seperti itu,” tuturnya yang pernah melepas kamera dan identitasnya saat peliputan.

Dalam perspektif hukum, Theo Adi Negoro, praktisi hukum dari Fakultas Hukum dan Komunikasi Hukum Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang menyoroti kondisi persma di Indonesia yang berada dalam paradoks. Aktivitas persma yang rutin mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi melalui kanal media kampus atau Lembaga Pers Mahasiswa, sesungguhnya memenuhi kriteria jurnalistik sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga secara definisi persma sudah masuk dalam kategori wartawan. Namun, persma yang pada umumnya berada dalam payung institusi perguruan tinggi memang tidak berbadan hukum seperti perusahaan pers pada umumnya (bentuk PT, yayasan, atau koperasi).

“Persma itu secara definisi sudah masuk ke definisi wartawan, tapi setengah-setengah karena persma bukan badan hukum, melainkan bagian kegiatan di bawah universitas,” ungkap Theo Adi Negoro.

Karena tidak berbadan hukum, persma tidak mendapat perlindungan hukum penuh ketika menjalankan fungsi jurnalistik. Ini tampak seperti saat melakukan peliputan yang kritis terhadap sejumlah isu publik atau meliput aksi intensifikasi. “Aparat penegak hukum sering menggunakan pendekatan praduga bersalah terhadap anggota persma, bukannya praduga tak bersalah yang seharusnya melekat pada jurnalis. Hal ini menyebabkan persma rentan disalahartikan sebagai pihak yang melakukan pelanggaran, bahkan dapat ditangkap dan diberi tuduhan seperti melawan petugas meskipun mereka bertugas meliput, imbuhnya.

Ironisnya, perlindungan hukum persma harus bergantung pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang ini dianggap sebagai payung hukum alternatif yang melindungi pelajar atau masyarakat biasa yang menyampaikan pendapat, meskipun beban pembuktian dan tindakannya lebih banyak. Seperti kewajiban menghormati hak dan kebebasan orang lain, tidak sembarang membuka identitas narasumber, dan kewajiban memberikan informasi pada saat dipanggil penegak hukum yang berlaku bagi masyarakat biasa, bukan wartawan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang yang sering mendampingi proses jurnalis hukum kampus menilai bahwa aparat tidak profesional dalam menjalankannya. Ini terbukti dalam proses pemdapingan sejumlah jurnalis kampus yang tertangkap saat meliput aksi pembekuan.

“Contohnya, kami kesulitan melakukan pendampingan karena saat masih di depan gerbang Mapolda Jateng kehadiran kami sudah dihalang-halangi. Dari jam 10 gitu ya, baru bisa masuk itu kalau enggak salah di sore harinya gitu, kan. Itu kan menunjukkan polisinya tidak profesional,” ungkap Bagas, salah satu pendamping hukum dari LBH Semarang.

 Persma membutuhkan perlindungan yang konkret

 Terkait penguatan payung hukum mahasiswa pers, Arif Zulkifli, anggota Dewan Pers periode 2022-2025 dalam keterangannya pada Tempo (22/12/2022) menilai, pemerintah perlu merevisi dan memperkuat regulasi terkait perlindungan Persma agar tidak mudah disalahgunakan untuk menekan kebebasan pers.

“Pers harus dijamin kebebasannya agar dapat menjalankan fungsi kontrol sosial dengan baik. Tanpa perlindungan yang memadai, jurnalis dan media menjadi rentan terhadap berbagai bentuk tekanan yang dapat menghambat kerja jurnalistik,” ungkap Arif Zulkifli.

Menurutnya, Judicial Review menjadi solusi alternatif untuk nantinya dapat menjadi payung perlindungan hukum ketika persma mendapat intimidasi bahkan represifitas. Caranya misalnya, dengan memperluas definisi wartawan dalam Undang-Undang Pers agar [ersma secara resmi diakui.

Langkah ini dirasa efektif karena kepindahan Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang digagas pada 18 Maret 2024 tidak menguatkan apapun untuk menjadi aturan tetap.

“Ya, saya kira untuk bisa ditingkatkan misalnya menjadi peraturan menteri dan sebagainya itu tentu harapan kita semua, tapi ya tidak bisa memaksa,” ujarnya.

Arif menambahkan, kebijakan perlindungan hukum pada persma ada pada kementerian yang bersangkutan. Persma harus berjanji kepada kementerian terkait bahwa pers mahasiswa adalah tempat penggodogan atau pelatihan calon-calon wartawan profesional.

“Jurnalis kampus melakukan kerja jurnalistiknya secara profesional juga. Saya ingin lihat dulu, setelah perjanjian kerja sama ini apakah kasus kekerasan kepada pers mahasiswa ini bisa tekan pada sisi kuantitas,” ungkapnya saat diwawancarai oleh LPM Dinamika pada (18/4/2024).

Theo Adi Negoro, praktisi hukum dari Fakultas Hukum dan Komunikasi Hukum Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA) Semarang mengungkap hal senada, bahwa alternatif judicial review menjadi penting sebagai upaya yang dapat dilakukan mahasiswa untuk memperjuangkan kiprah LPM di tataran universitas.

Demo tolak kenaikan pajak di Pati pada Rabu, 13 Agustus 2025 (Sumber: Rizqho/Vokalpers)

Mekanisme uji materi merupakan mekanisme konstitusional yang memungkinkan mahasiswa untuk menguji dan meminta Mahkamah Konstitusi menolak atau menolak peraturan-peraturan-undangan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi terutama terkait hak kebebasan pers. Dalam konteks ini, tinjauan yudisial dapat menjadi alat strategi untuk menguji aturan-aturan kampus yang membatasi kebebasan persma secara tidak proposional, membatalkan peraturan-peraturan yang berpotensi mengkriminalisasi aktivitas jurnalistik mahasiswa dan memastikan bahwa hak kebebasan persma diatur dan dilindungi oleh hukum sesuai dengan prinsip demokrasi.

“Efektif untuk menjaga hak. Nah, kalau tidak mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung,” tambah Theo.

Dalam pasal 1 ayat (2) UU Pers, perlu diuji agar persma yang bukan badan hukum tetap mendapat pengakuan sebagai pers. Lebih lanjut, pasal 4 ayat (1) menganggap bahwa wartawan hanya dari perusahaan pers yang berbadan hukum perlu diuji. Perluasan perlindungan hukum dalam pasal 8 untuk memasukkan Persma di dalamnya. Juga syarat tentang perusahaan formal yang tidak dapat dipenuhi oleh Persma pada pasal 9 ayat (2).

Theo juga menyebutkan perlunya kolaborasi antara persma, fakultas hukum masing-masing, dan lembaga hukum untuk bersama-sama mengajukan judicial review .

Peninjauan kembali bukan sekedar prosedur hukum melainkan dapat menjadi ruang dialog, langkah konkret untuk melindungi mahasiswa dari tekanan dan tindakan yang tidak adil. Dengan dukungan regulasi yang kuat dan mekanisme perlindungan yang jelas, persma dapat menjalankan kontrol fungsi sosialnya secara bebas, menciptakan lingkungan kampus yang lebih demokratis dan transparan,” tandasnya. ***

Penulis: Ika Nugrahaning Saputri, Seila Ardiyanti

Reporter: Sabrina Gita Salsabella, Rizqho Aji Prayoga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *